Jumat, 19 Juni 2009

Dialog di Tepi Jalan

Petang telah beranjak malam

Sebaiknya cepatlah kita pulang

Seandainya rumah dapat menentramkan hatiku

Aku tak keberatan untuk pulang

Deru mesin meraung seru

Tanda kebisingan kota telah dimulai

Tetapi aku masih merasa sepi

Sepi dalam keramaian ini

Jalan ini terlampau panjang

Untuk kita lalui bersama

Silakan pergi…!

Jika telah lelah mengiringi langkahku

Aku tak mau engkau sendiri

Aku hanya ingin menemani

Aku telah lama sendiri

Kesendirian ini sudah biasa

Apa itu?

Mengapa kau jatuhkan bulir air matamu?

Bulir ini tak dapat ku tahan lagi

Terlalu lama terbendung

Aku tak pantas mendapatkannya

Sungguh tak pantas

Bukan berkenaan pantas dan tak pantas

Ini hatiku…aku berhak sepenuhnya

Jangan mencintaiku…

Aku tak dapat membalasnya

Aku tak mencintai untuk mendapatkan balasan!!!

Aku hanya mencintai untuk sebuah peleburan

Aku tak dapat!!

Jangan paksa aku

Aku tak pernah memaksamu

Jika ingin pergi… silakan!

Baiklah…

Aku pergi..!

Ya..

Selamat tinggal

Temaram lampu jalan kota tua

Menjadi saksi sebuah cerita

Cerita yang tak pernah ada akhirnya

Juga tak ada mulanya

Ah…sungguh telah lena

Lena aku dalam cawan kehidupan

Hingga aku tenggelam dalam kubangan yang ku gali sendiri

Akhirnya…

Kurentangkan kedua tanganku

Menyambut sang Malaikat Maut

“Cabutlah kehidupan yang membelengguku dalam ketakpastian!”

Dan aku pergi!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar