Jumat, 24 April 2009

Tetralogi Kehidupan,,Sang Pengelana Mimpi

Ada sebuah cerita….kawan!!
Cerita tentang seseorang yang mencari jati diri
Pengelana mimpi
Ia menyebut dirinya

Setiap hari….kawan!!
Ketika matahari telah duduk di singgasana hari
Ia berjalan ke arah barat
Menenteng keranjang kehormatan
Berkumpul dengan para pejabat di bawah kolong langit

Setiap pagi….kawan!!
Ketika ia baru terjaga dari tidur panjangnya
Dengan piyama kedudukan
Ia duduk menghadap ke timur dengan menyilangkan kaki 
Sambil minum teh dari gelas kesengsaraan

Setiap siang….kawan!!
Ketika matahari menunjukkan kesombongannya
Ia memakai topi kejujuran
Berjalan angkuh ke arah selatan di jalan kebenaran
Dengan menghisap cerutu kebohongan

Setiap malam….kawan!!
Ia mengenakan jas kesetiaan
Ia akan pergi ke sebuah pesta
Bachelor Party….temanya
Tahukah kau….
Ia telah beristri empat

Ia begitu tenang
Begitu penuh wibawa
Begitu terhormat
Banyak orang menyanjungnya
Tahukah kau apa alasannya???
Ia menyebut dirinya
Pengelana Mimpi

Kenza_Yukata

Wajah itu

Wajah itu yang selalu tersenyum
Ketika aku bahagia
Ketika aku meraih prestasi gemilang

Wajah itu yang selalu terdiam
Ketika aku melakukan kesalahan
Ketika aku kalah dalam persaingan

Wajah itu yang selalu teduh
Ketika aku butuh tempat melepas peluh
Ketika aku duduk lelah tersimpuh

Wajah itu yang selalu ceria
Ketika aku pulang membawa berita
Ketika aku terkekeh bercerita

Wajah itu yang selalu bersahaja
Walau telah letih bekerja
Walau terlalu penat terjaga

Wajah itu….
Wajah cantik ibuku
Ya…ibuku yang ku sayang
Walau kadang aku nakal
Tetapi kau tetap sayang
Walau aku terkenal badung
Kasihmu tetap tak terbendung
Ibu…
I LOVE YOU

Sarang_ku, 24 April 2009_Avicenna


Kamis, 23 April 2009

THE LAST SAMURAI "Ksatria dan Samurai"

Kapten Nathan Algren (Tom Cruise) adalah seorang prajurit (walau berpangkat Kapten Kavaleri 17, dia tetaplah prajurit) yang ikut berperang membasmi gerombolan pemberontak Indian Amerika di medan Gettysburg. Dia adalah Pahlawan Amerika bermedali terbanyak. Namun ketika ia harus keluar dari kemiliteran, ia dikontrak oleh Winchester Company untuk mengiklankan senjata dengan gaji 25 dollar per minggu. 
 Kemudian nasib membawanya ke Jepang. Ia dikontrak untuk melatih prajurit kerajaan Jepang (waktu itu sedang gencar-gencarnya pemberontakan Katsumoto). Pada saat itu kaisar Jepang tergila-gila dengan kebudayaan barat. Para Samurai menganggap perubahan ini terlalu cepat. Kebudayaan kuno dan modern berperang dalam jiwa rakyat Jepang. Saat itu Jepang sudah mulai mengenal banyak sekali budaya barat; pakaian barat sampai senjata model barat. Kaisar sepertinya melupakan darimanakah Kepulauan Jepang berasal. 
  Ada beberapa peristiwa yang menunjukkan perbedaan antara seorang Ksatria dan seorang Samurai. Pertama, pada pertempuran pertamanya (setelah ia berhenti dari kemiliteran) kali ini, jiwa keprajuritan Kapten Algren yang sudah terasah, muncul kembali (apalagi ketika Sersan Grant tewas di depan matanya) . Walau sudah terdesak, terluka, dan tanpa senjata yang berarti, dia tetap bertarung, bertarung, dan bertarung. Meski ia harus bertumpu pada kedua lututnya ia tetap mempertahankan dirinya. Bahkan ketika maut telah mencapai leher ia tetap bertahan, hingga Hirotaro terbunuh di tangannya. Keberanian dan kegigihan yang ditunjukkan oleh Kapten Argen membuat Katsumoto tertegun. Katsumoto seperti melihat semangat dan keberanian seekor harimau putih (yang merupakan simbol yang tertera pada bendera pasukan Katsumoto). Semangat seorang Ksatria.
Kedua, ketika Ujio meminta Katsumoto untuk membunuh Algren karena Algren sudah kalah dalam pertempuran dengan memalukan. Tapi dengan tegas Katsumoto mengatakan bahwa itu bukan merupakan sebuah budaya di negara Algren. 
Ketiga, ketika Hideo bermain pedang-pedangan dengan temannya, ternyata temannya kalah dan ketika Algren bermaksud mengembalikan pedangnya namun teman Hideo menolaknya. Namun ketika Ujio menyuruh Algren meletakkan pedangnya Algren berkeras tidak mau meletakkan pedangnya. Bahkan sampai ia harus berdarah-darah, ia tetap mempertahankan pedang kayu itu. Bagi orang Jepang kekalahan adalah hal yang memalukan (bahkan ada tradisi harakiri). Namun itu tidak berlaku di negara Algren.
Kapten Amerika itu belajar banyak hal di kamp itu (saat ia menjadi tawanan Katsumoto), sehingga ia memutuskan untuk membela Katsumoto (setelah ia melihat bagaimana Nobutada mati demi membela ayahnya, Katsumoto) dalam bertempur melawan tentara Kerajaan Jepang. Dan dia diberi kesempatan untuk berperang sebagai seorang Samurai(bahkan dibuatkan sebuah pedang samurai yang bertuliskan ”Aku milik seorang ksatria dimana semangat kuno dan baru bersatu” dan memakai baju zirah almarhum Hirotaro). Di medan perang, sekali lagi Kapten itu menunjukkan kredibilitasnya sebagai seorang prajurit. Bertempur dengan gagah berani, tidak peduli senjata yang dihadapi, tidak peduli berapa banyak jumlah musuh yang dihadapi (memang seorang prajurit sejati harus berlaku seperti itu). Ada sebuah peristiwa yang kembali menjadi pembeda antara Ksatria dan Samurai, pedang Katsumoto jatuh terlebih dahulu sebelum dirinya roboh, sedang Algren terus menggenggam pedangnya pada saat ia sudah jatuh dari kuda. 
Semangat Ksatria dan Samurai akhirnya bergabung, melebur menjadi satu, demi mewujudkan prinsip yang mulai terlupakan, Kehormatan. Walau pada akhirnya yang dikorbankan adalah nyawa. Tapi pengorbanan itu tidak sia-sia, karena pada akhirnya Kaisar Jepang menyadari bahwa selama ini ia telah ”sedikit” melupakan tradisinya, yaitu semangat Samurai. Dan ternyata yang menyadarkannya secara tidak langsung adalah orang asing (Nathan Algren)
Dari film ”The Last Samurai” dapat dilihat bahwa Ksatria (Barat) berbeda dengan Samurai (Timur), namun ada beberapa hikmah yang amat sangat dalam artinya yang dapat diambil dari beberapa peristiwa itu, bahwa bagaimanapun pengaruh asing telah masuk dan merasuk dalam suatu Negara, tapi hendaknya tradisi atau kebudayaan asli Negara itu tidak boleh dilupakan begitu saja. Kapten Nathan Algren tetap menjunjung tradisinya walau ia berada di negeri orang. Katsumoto memperjuangkan tradisi yang diyakininya walau harus dibayar dengan nyawanya. 


Kajian Nilai Dharma (Kebenaran Hakiki) dan Adharma (Kejahatan) dalam Mahabharata

Pendahuluan 
 Dalam kesusastraan Indonesia kuna kita mengenal dua epos besar, yaitu : Ramayana dan Mahabharata, yang pada awalnya ditulis dalam bahasa Sanskerta. Menurut para arif bijaksana, Ramayana dikatakan lebih tua daripada Mahabharata. Keduanya memuat uraian tentang adat istiadat, kebiasaan, dan kebudayaan manusia di jaman dahulu.
 Mahabharata berasal dari kata maha yang berarti besar dan kata bharata yang berarti bangsa Bharata. Pujangga Panini menyebut Mahabharata sebagai ”Kisah Pertempuran Besar Bangsa Bharata”. Dilihat dari segi kesusastraan, epos Mahabharata memiliki sifat-sifat dramatis. Tokoh-tokohnya seolah-olah nyata karena perwatakan mereka digambarkan dengan sangat hidup, konflik antara aksi dan reaksi yang berkelanjutan akhirnya selalu mencapai penyelesaian dalam bentuk kebajikan yang harmonis. Nafsu melawan nafsu merupakan kritik terhadap hidup, kebiasaan, tatacara, dan cita-cita yang berubah-ubah. Dasar-dasar moral, kewajiban dan kebenaran disampaikan secara tegas dan jelas dalam buku ini. Menurut Mahatma Gandhi, konflik abadi yang ada dalam jiwa kita diuraikan dan dicontohkan dengan sangat jelas dan membuat kita berpikir bahwa semua tindakan yang dilukiskan di dalam Mahabharata seolah-olah benar-benar dilakukan oleh manusia.
 Epos Mahabharata telah meletakkan doktrin dharma yang menyatakan bahwa kebenaran bukan hanya milik satu golongan dan bahwa ada banyak jalan serta cara untuk melihat atau mencapai kebenaran karena adanya toleransi. Epos Mahabharata mengajarkan bahwa kesejahteraan sosial harus ditujukan bagi seluruh dunia dan setiap orang harus berjuang untuk menwujudkannya tanpa mendahulukan kepentingan pribadi. Itulah dharma yang diungkapkan epos Mahabharata sebagai sumber kekayaan rohani atau dharmasastra.

Pengertian dan Hakikat Moral
 Secara umum, moral menyaran pada pengertian (ajaran tentang) baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; akhlak, budi pekerti, susila (KBBI, 1994; dalam Teori Pengkajian Fiksi : Nurgiyantoro : 320). Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal itulah yang ingin disampaikannya kepada pembaca. Moral dalam cerita, menurut Kenny (1966: 89; dalam Teori Pengkajian Fiksi : Nurgiyantoro : 321), biasanya dimaksudkan sebagai suatu saranyang berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis, yang dapat diambil (dan ditafsirkan) lewat cerita yang bersangkutan oleh pembaca.
 Karya sastra , fiksi, senantiasa menawarkan pesan moral yang berhubungan dengan sifat-sifat luhur kemanusiaan, memperjuangkan hak dan martabat manusia. Sifat-sifat luhur kemanusiaan tersebut pada hakikatnya bersifat universal. Artinya, sifat-sifat itu dimiliki dan diyakini kebenarannya oleh manusia sejagad.
 Kehadiran unsure religius dan keagamaan dalam sastra adalah setua sastra itu sendiri. Bahkan, sastra tumbuh dari sesuatu yang bersifat religius. Pada awal mula segala sastra adalah religius (Mangunwijaya, 1982: 11; dalam Teori Pengkajian Fiksi : Nurgiyantoro : 326). Istilah “religius” membawa konotasi pada makna agama. Religius dan agama memang erat berkaitan, berdampingan, bahkan da[pat melebur dalam satu kesatuan, namun sebenarnya keduanya menyaran pada makna yang berbeda. 
 Agama lebih menunjukkan pada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan dengan hukum-hukum yang resmi. Religiositas di pihak lain, melihat aspek yang di lubuk hati, riak getaran nurani pribadi, totalitas kedal;aman pribadi manusia. Dengan demikian, religius bersifat mengatasi, lebih dalam, dan lebih luas dari agama yang tampak, formal, dan resmi (Mangunwijaya, 1982: 11-12 ; dalam Teori Pengakjian Fiksi : Nurgiyantoro : 327).  

Dharma
Dharma or dharma (derived from the Sanskrit root dhr, to sustain, uphold) is one of the most frequently encountered words in Indian religions and it has a great many different meaning in various contexts: law, doctrine, established order, ‘element’, something irreducible either in thought, language or physical reality (Klaus K Klostermaier , Buddhism A Short Introduction : 31). 

………..In short, the principle of the Buddhist religion amounts to faith and life in the Three Treasure (Ratna-traya), which means oneness of the Perfect Person (Buddha), the Truth (Dharma), and the Community (Sangha) (Masaharu Anesaki , History of Japanese Religion : 54). 

DHARMA UPADESA

Ini adalah dharma upadesa yaitu ajaran para resi hindu yang mulia. Ajaran dharma yang luhur itu pada hakekatnya adalah hukum kebenaran hidup yang hakiki. Karena dasarnya adalah suatu pemahaman yang utuh tentang hubungan antara Tuhan, Alam, dan Manusia (Tri Hita Karana). Oleh sebab itu dharma adalah sumber pengetahuan dan peri-laku kehidupan yang bersifat sempurna. Sebagai landasan hukum yang bersumber pada wahyu suci dan pengalaman hidup kebenaran-kebenaran di dalam dharma dapat diketahui melalui tiga cara yang utama (Tri Pramana), yaitu dengan menerimanya secara langsung sebagai wahyu yang diturunkan (Pratyaksa Pramana), atau dengan mengambil kesimpulan dari hasil penelitian dan pengamatan (Anumana Pramana), maupun dengan menerimanya melalui keterangan para guru, yang dapat keterangan tentang ajaran berdasarkan kitab pustaka suci (Agama Pramana).
Adapun ajaran dharma agama hindu, yang menuntun umat manusia dalam perjalanan hidupnya, adalah mutiara-mutiara kebenaran yang terdapat pada berbagai sumber tertulis, di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Weda, yang berasal dari kata wid, artinya ilmu pengetahuan suci. Adapun pustaka mulia ini disebut Sruti, atau sabda yang diperdengarkan, dan terdiri dari empat bagian (Catur Weda), yaitu Rig-Weda, Yayur Weda, Sama Weda, dan Atharwa Weda.
2. Upanisad, yaitu kitab-kitab pengetahuan dan pemikiran keagamaan yang merupakan hasil karya para resi suci.
3. Smerti, yaitu kumpulan ajaran Weda yang diberikan dalam bentuk rumusan-rumusan yang mudah diingat. Termasuk di antaranya adalah kitab Manu Smerti dan Sarasamucchaya.
4. Purana, yaitu kumpulan cerita dari perumpamaan yang mengandung ajaran suci.
5. Itihasa, yaitu sejarah kepahlawanan yang mengandung ajaran dan keteladanan yang luhur. Maka di antara kumpulan pustaka suci ini yang paling terkenal adalah Ramayana dan Mahabharata. Adapun di dalam Wiracarita Mahabharata yang sangat panjang itu terdapat sebuah bagian penting yang berjudul Bhagavadgita, yang berisi ajaran tentang dharma, sebagaimana telah diberikan oleh Sri Kresna kepada Arjuna di medan perang Kurusetra. Pustaka suci ini seringkali disebut sebagai kitab Weda yang kelima.
Maka seluruh ajaran dharma, sebagai pegangan dalam kehidupan, dapat diringkaskan menjadi lima pokok kepercayaan utama (panca srada), yaitu pokok-pokok kepercayaan tentang Brahman, Atman, Karma Phala, Samsara (Punarbhawa), dan Moksa. Berdasarkan kelima pilar kepercayaan itulah dharma ditegakkan di atas landasan-landasan pengetahuan (tatwa), perbuatan (susila), dan peribadahan (upacara), dalam rangka mewujudkan amanat kehidupan yang utama, yaitu untuk mencapai kelepasan jiwa dan kesejahteraan umat manusia (moksartham jagadhitaya ca iti dharmah).
1. Brahman
Pengetahuan tentang Tuhan Yang Maha Esa (Widhi Tatwa) menerangkan bahwa Tuhan itu hanya satu dan tidak ada duanya (ekam eva adityam brahman). Maka hanya satu Tuhan itu sama sekali tidak ada duanya (eko narayanad na dwityosti kaccit), sehingga oleh karena itulah berlaku semboyan, berbeda-beda tetapi satu, tidak ada dharma yang mendua (bhineka tunggal ika, tan hana dharma mangrwa).
2. Atman
Pengetahuan tentang kehidupan jiwa manusia (atma tatwa) menerangkan bahwa Tuhan Yang Maha Esa (Sang Hyang Widhi Wasa) adalah Jiwa Yang Maha Tinggi (Parama Atma), sedangkan jiwa manusia (atma) adalah percikan-percikan kecil yang memancar daripadaNya. Sebagai sumber keberadaan yang menghidupkan tubuh manusia atman disebut pula dengan istilah Jiwatman. Demikianlah atman menghidupi semua mahkluk (sarwa prani) di seluruh alam-semesta.
3. Karma
Pengetahuan tentang buah-buah perbuatan (Karma Phala) pada hakekatnya bersandar kepada pengertian bahwa perbuatan yang baik (Cubhakarma) akan mendatangkan hasil yang baik, sedangkan perbuatan yang buruk (Acubhakarma) akan mendatangkan hasil yang buruk pula.
4. Punarbhawa dan Samsara
Pengetahuan tentang kelahiran kembali (Punarbhawa) dan penderitaan (Samsara) menjelaskan bahwa setiap manusia mengalami kelahiran yang berulangkali (Samsriti). Peristiwa ini terjadi baik dalam alam kehidupan yang sama maupun dalam alam kehidupan yang lebih tinggi atau lebih rendah, dan berlangsung sebagai lingkaran penderitaan yang seakan-akan tidak akan pernah berakhir (Samsara).

5. Moksa
Pengetahuan tentang tujuan akhir, bagi setiap orang yang menjalani kehidupannya di dalam kebenaran dharma, adalah mengenai makna kelepasan jiwa dan kesejahteraan umat manusia (moksartham jagadhitaya ca iti dharmah). Adapun moksa, yang berarti kebebasan dari ikatan keduniawian, belenggu hukum karma, dan kehidupan samsara itu dapat dicapai bukan saja setelah berakhirnya kehidupan, akan tetapi juga dalam kehidupan yang masih berlangsung (jiwan-mukti).
setiap orang yang ingin mengamalkan dharma dengan sempurna akan berusaha pula untuk menjalani keempat tingkat kehidupan (catur-asrama), yaitu berguru untuk menimba ilmu-pengetahuan suci (brahmachari), berkeluarga dan membina keturunan (grihastha), bersiap untuk meninggalkan keduniawian walaupun masih tetap dalam keadaan bekerja (wanaprastha), dan berbakti kepada Tuhan serta melepaskan keduniawian (biksuka). Khususnya pada tingkat yang terakhir itulah seseorang berdharma dengan menyebarluaskan ajaran-ajaran suci (nisparagraha). Maka oleh karena panggilan dharma itu pula semua anggota keempat golongan (catur warna), yaitu brahmana, ksatria, waisya, dan sudra erat bekerja-sama untuk membina kesejahteraan seluruh alam-kehidupan. Sesuai dengan watak, niat, dan bakatnya (swadharma), semua berupaya untuk mengusahakan kesejahteraan rokhani (bhukti) dan jasmani (mukti), dengan mengejar ketiga keutamaan (triwarga), yaitu kebenaran dalam kebajikan (dharma), kekayaan dalam ketekunan (artha), dan kesenangan dalam kehidupan (kama). Dengan senantiasa menyadari pengaruh-pengaruh satwa, rajah, dan tamas, sebagai sumber ketiga pengaruh (triguna), yang mendorong seseorang kepada kebaikan (dharma), kesenangan (kama), dan kejahatan (adharma). 
 Demikianlah kehidupan di dalam dharma memiliki sendi-sendi budi pekerti yang luhur. Oleh karena itu seorang yang ber-dharma senantiasa berguru sepanjang hidupnya. Ia berbakti dalam ketulusan-hati kepada keempat guru agung (catur kang sinanggah guru), yaitu pendeta (guru pengajian), bapak dan ibu (guru rupaka), dan pemerintah (guru wisesa), yang disebut pula Sang Guru Tiga (Triguna), serta Tuhan Yang Maha Esa sebagai guru yang utama (guru sejati/guru swadhyaya). Selanjutnya dengan mempelajari keagungan wiracarita, seseorang yang ber-dharma juga berguru untuk meningkatkan keyakinan bahwa kebenaranlah yang pasti menang, dan bukan kecurangan (satyam jayate na anretam). Sesungguhnya … "kebenaranlah yang menang pada akhirnya" (nyato dharma slatho jaya). Maka berdasarkan pengetahuan suci (tatwa), dan perbuatan baik (susila), dharma ditegakkan dalam kehidupan, dan kemudian disempurnakan melalui pemujaan (upacara). Adapun orang yang teguh keyakinan hatinya, ia setia menjalin hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa (Sang Hyang Widi Wasa). Dalam sikap bakti namaskara puja, tiga kali sehari memanjatkan Trisandhya, mengucapkan Gayatri-mantra yang suci.
 Setiap orang yang ingin mengamalkan dharma dengan sempurna akan berusaha pula untuk menjalani keempat tingkat kehidupan (catur-asrama), yaitu berguru untuk menimba ilmu-pengetahuan suci (brahmachari), berkeluarga dan membina keturunan (grihastha), bersiap untuk meninggalkan keduniawian walaupun masih tetap dalam keadaan bekerja (wanaprastha), dan berbakti kepada Tuhan serta melepaskan keduniawian (biksuka). Khususnya pada tingkat yang terakhir itulah seseorang berdharma dengan menyebarluaskan ajaran-ajaran suci (nisparagraha).  


Kebaktian Hidup dan Kebenaran Darma 
Dasar kehidupan adalah darma, yang menggerakkan berjalannya hukum karma, sedangkan tujuan kehidupan adalah darma, yang menyingkirkan belenggu penderitaan. Maka darmasiksa itulah jalan kemuliaan hidup, di segala waktu dan di segala tempat, bagi siapapun yang ingin mencari kebahagiaan (mamet hayu). Baik bagi dirinya sendiri, maupun bagi sesamanya manusia.
 Darma itu adalah kebenaran hidup, sedangkan siksa adalah aturan kehidupan yang luhur. Inilah tujuan diuraikannya darma dalam aksara, yaitu naskah yang ditulis pada tahun saka 1440 dengan candrasangkala Nora Catur Sagara Wulan. Di dalam naskah diterangkan bahwa dasar keseluruhan tulisan ini adalah Sahyang dasakreta kundangeun urang reya atau Sepuluh Kesejahteraan Hidup Pegangan Orang Banyak. Selanjutnya dijelaskan bahwa kesepuluh butir pedoman kehidupan itu adalah … kalangkang dasa sila, maya-maya sanghyang dasa marga, kaprektyasaan sanghyang dasa indriya … bayangan kesepuluh sila, bayangan kesepuluh jalan keluhuran, yang didasari kesepuluh indera. Maka berdasarkan itulah kemudian diajarkan tentang pemeliharaan dan perawatan dasa indriya atau kesepuluh indera, dalam rangka mencegah terjadinya kenistaan hidup, yaitu mata (mata), telinga (ceuli), kulit (kulit), lidah (letah), hidung (irung), mulut (sungut), tangan (leungeun), kaki (suku), tumbung (paya), dan kemaluan wanita/kemaluan pria (baga/purusa). Kesepuluh indera inilah jalan yang membawa manusia ke surga atau ke neraka. Apabila semua itu dipelihara dan digunakan secara benar, maka akan mendatangkan keadaan yang disebut Sanghyang Sasana Kreta, yaitu kesejahteraan hidup, keberhasilan usaha, dan kesuburan alam. Seluruh bagian alam kehidupan akan berkembang dan bertumbuh oleh karena karma yang baik di dalam semangat darma yang luhur. Adapun kesepuluh bagian alam itu adalah dunia kehidupan (eka bumi), sawah ladang (dwi sawah), puncak gunung (tri gunung), samudra lautan (catur segara), pohon tetumbuhan (panca taru), tempat kediaman (sad panggonan), guru resi (sapta pandita), angkasa langit (hasta tawang), dewata agung (nawa dewa), dan penguasa alam (dasa ratu).
 Demikian pula tatanan masyarakat akan terpelihara dalam keadaan damai dan sentosa, karena kebajikan para pengamal ajaran darma, dan karena ditegakkannya ke sepuluh ke-bakti-an suci. Sebagaimana diterangkan di dalam pustaka yang dijunjung tinggi:
Nihan sinangguh dasa prebakti ngaran(n)a: Anak bakti di bapa, ewe bakti di laki, sisya bakti di guru, hulun bakti di pacandaan, wong tani bakti di wado,wado bakti di mantri, mantri bakti di nu nangganan, nu nangganan bakti di mangkubumi, mangkubumi bakti di ratu, ratu bakti di dewata, dewata bakti di hyang  
Berturut-turut dan secara bersama-sama semua berbakti di dalam darma kepada Tuhan yang menjadi sumber kehidupan alam semesta. Segenap rakyat warga masyarakat hidup berbahagia dalam kesentosaan, karena semua pihak bersikap saling mendukung, saling mengisi, dan saling melengkapi. Satu dengan lainnya saling mengasah (silih asah), saling mengasihi (silih asih), dan saling mengasuh (silih asuh).
 Di dalam kebajikan hidup berdasarkan darma setiap orang menekuni pekerjaannya masing-masing, sebagaimana dicontohkan dalam kedelapan belas jenis tapa di nagara. Demikian pula penyelenggaraan kehidupan masyarakat berjalan dengan baik oleh karena tegaknya ketiga penanggung-jawab negeri (tritangtu di buwana), sebagaimana dikatakan:
Jagad daranan di sang rama, jagad kreta di sang resi, jagad palangka di sang ratu … 
Dunia kemakmuran tanggung-jawab sang rama, dunia kesejahteraan tanggung-jawab sang resi, dunia kerajaan tanggung-jawab sang ratu.
Karena ketiganya itu sama asal-mulanya (pada pawitanna), dan sama pula kemuliaannya (pada mulianna). Maka ketiganya bekerja-sama demi kesejahteraan semua orang, tanpa memperebutkan kedudukan, pengaruh, penghasilan, dan anugerah. Ketiganya mengusahakan kebajikan yang mulia dengan perbuatan (ulah), dengan ucapan (sabda), dan iktikad (ambek). Maka meniru keteladanan para pemimpinnya itu setiap orangpun akan berusaha untuk memiliki keluhuran di dalam dirinya. Sebagaimana disebutkan:
Sabda pinaka rama, hedap pinaka resi, bayu pinaka ratu …
Ucapan seorang rama, tekad seorang resi, wibawa seorang ratu. 
 Semua orang berada dalam keadaan berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. Dalam kesejajaran dengan yang lainnya, setiap orang menekuni pekerjaannya masing-masing. Membawa semangat di dalam dada, dan dengan teguh sepenuh hati menjunjung tinggi Sanghyang Darmasiksa. 
 Demikianlah ajaran guru yang budiman tentang hidup bijaksana berdasarkan darma. Bila setiap orang memahami darmanya masing-masing, maka kesejahteraaan hidup(nya) di dunia akan tercapai. Sedangkan kesejahteraan dunia (kertaning jagad) pada umumnya, akan terwujud pula bilamana tuntutan darma terpenuhi dengan sempurna. Adapun keberhasilan dalam darma itu akan membuka kesempatan bagi setiap orang untuk mencapai kesempurnaan jiwanya. Di manapun ia bekerja, dan apapun yang menjadi tugas dan tanggung-jawabnya.

Nilai Dharma dan Adharma dalam Roman Mahabharata Karangan Nyoman S. Pendit 
 Pada kesempatan kali ini, penulis tertarik untuk menulis tentang kajian nilai dharma dan adharma yang berada dalam roman Mahabharata karangan Nyoman S. Pendit. Saya tertarik dengan topik ini karena pada dasarnya kehidupan di dunia ini tidak bisa lepas dari dharma dan adharma. Orang yang selalu memegang teguh dharma terkadang tidak mendapat buah yang sepantasnya, sedangkan mereka yang selalu menjalankan adharma, hidup senang bergelimang harta.
 Dharma dalam Mahabharata diperankan oleh Pandawa. Setiap tindak tanduk mereka selalu mencerminkan dharma. Sejak kecil Pandawa sudah mendapatkan banyak pelajaran berharga. Mereka lahir di hutan dan menjalani masa kecilnya di hutan. Mereka sudah terbiasa hidup susah. Inilah salah satu alasan mengapa mereka sangat cerdas, cekatan, dan terampil. Melihat kecerdasan dan kekuatan yang dimiliki oleh Pandawa, seratus Kurawa merasa iri dan dengki (matsarya). 
 Duryodhana, sulung Kurawa, berniat jahat hendak membunuh Bhima.
 
Dalam hati Duryodhana sangat khawatir akan kehilangan haknya atas tahta kerajaan Hastina. Setelah Pandu meninggal, kemungkinan besar tahta kerajaan akan diberikan Yudhistira, sulung Pandawa, setelah ia dewasa. Duryodhana berpikir bahwa ia harus menghalang-halangi Yudhistira naik tahta. Ia ingin membunuh Bhima, Pandawa yang paling perkasa. Setelah Bhima mati, kekuatan Pandawa pasti akan hancur. Ia dan adik-adiknya mengatur siasat untuk menenggelamkan Bhima ke dasar sungai Gangga, kemudian mencederai Arjuna dan Yudhistira, dan yang terakhir merampas kerajaan.

 Hati jahat Duryodhana telah terlihat sejak ia berusia muda, dan inilah yang kelah akan menghancurkan dirinya. Bhima yang berpegang dalam dharma selamat dari maut dan bahkan kembali dalam keadaan yang luar biasa sehatnya.
 Untuk menghindari permusuhan lebih lanjut, kerajaan Hastina dibagi menjadi dua. Kerajaan Hastina diperintah oleh Doryudhana, dan Kerajaan Amarta (Indraprastha) diperintah oleh Yudhistira. 

Pandawa memerintah kerajaan itu dengan mematuhi ajaran dharma. Kerajaan Amarta segera terkenal ke seluruh dunia, rakyatnya hidup damai dan sejahtera. 

Melihat kemakmuran Indraprastha, Duryodhana panas hati karena iri dan dengki (matsarya) kepada Pandawa. Duyodhana dan Sakuni menyusun siasat untuk merebut Indraprastha dari tangan Pandawa. Mereka menggunakan permainan dadu sebagai alat untuk merebut kerajaan Pandawa. 

Kata Sakuni, ”Aku tahu Yudhistra gemar bermain dadu, tetapi tidak pandai. Ia terlalu jujur dan sama sekali tak tahu akal dan siasat untuk memenangkan permainan...............................Dia pasti akan mempertaruhkan kekayaan dan kerajaannya. Jika semua terlaksana sesuai rencana, kita pasti bisa memenangkan kekayaan dan kerajaannya tanpa perlu menitikkan darah setetes pun”

Yudhistira yang selalu memegang teguh dharma kalah dalam permainan licik yang dilakukan Duryodhana dan Sakuni. Ia kehilangan kerajaan dan kekayaannya, dan harus menjalani 13 tahun masa hukuman, 12 tahun masa pengasingan di hutan dan pada tahun ketiga belas mereka harus menyamar tanpa ada yang mengenali mereka.
Demikianlah Pandawa yang selalu memegang teguh dharma hidup terlunta-lunta dan harus menjalani masa pengasingan di hutan. Sedangkan Kurawa yang bertindak adharma hidup senang dan nyaman dengan harta berlimpah. 
Ajaran dharma yang diterimanya selama di pengasingan membuat Yudhistira lebih bijaksana. 

Bhima dan Draupadi berkata bahwa amarah yang didasari oleh kebenaran adalah benar sedangkan bersikap sabar menerima penghinaan dan pasrah menerima penderitaan bukanlah sifat ksatria sejati. Mereka berdebat sengit sambil mengutip pendapat para arif bijaksana untuk membenarkan pendapat masing-masing. Tetapi dengan mantap. Yudhistira berkata bahwa seorang ksatria haruslah teguh memegang janjinya, bahwa tahan uji adalah kebajikan paling mulia dari segala sifat manusia.

 Selama menjalani pengasingan di hutan, Pandawa sering mendapat kunjungan dari Krishna. Krishna tahu bahwa Yudhistira tidak akan meninggalkan jalan kebenaran hanya demi rasa cinta atau takut.

Yudhistira tersenyum lalu berkata,”Krishna tahu pikiran dan perasaanku. Kebenaran lebih besar daripada kekuatan atau kemakmuran, dan harus dipertahankan dengan apapun juga, bukan dengan harta benda atau kerajaan,...............”. 
Sesuai dengan sabda Bhatara Surya kepada Dharmaputra (Yudhistira), bahwa dalam keadaan apapun dharma akan selalu bersama Yudhistira, memberi petunjuk dan menguatkan imannya dalam menghadapi penderitaan dan kesengsaraan.

 Dharma dan Adharma sekali lagi bertarung, ketika jalan perdamaian yang ditawarkan oleh Pandawa ditolak oleh Kurawa. Pertempuran maha dahsyat di padang Kurusethra tak dapat dihindarkan. Meskipun sudah ada aturan yang membatasi peperangan, penyimpangan dan pelanggaran akan terjadi jika manusia tidak dapat mengendalikan diri dan ingin saling membunuh. Tetapi, betapapun pelanggaran terjadi, budi pekerti luhur tetap mengatakan bahwa yang salah adalah salah, yang jahat adalah jahat, yang batil adalah batil, yang tercela harus dicela dan seterusnya. 

Sesungguhnya, menurut aturan perang, siapapun tidak dibenarkan menyerang, atau membunuh musuh yang tidak berdaya,.................................................jika itu dilakukan maka orang itu melanggar dharma!..........................................bagaimana mungkin mereka dapat dikatakan menjalankan dharmanya sebagai ksatria jika saudara dan kerabat saling membunuh? Bukankan peperangan sebenarnya adalah adharma atau kelahatan?

Perang Bharatayudha bukan hanya perang sepupu vs sepupu, tetapi juaga perang saudara kandung. Mahasenapati Kurawa (Karna) sesungguhnya adalah anak kandung Dewi Kunti (ibu Pandawa), tetapi Pandawa tidak mengetahuinya. Dan akhirnya Karna tewas di tangan Dhananjaya (Arjuna). Duryodhana tewas sesuai Swadharma-nya, yaitu tewas dengan paha diremukkan.
 Tentunya kita tidak bisa langsung menilai dharma dan adharma hanya melalui cuplikan-cuplikan data saja. Data yang ditampilkan di atas adalah cuplikan dari beberapa data yang ada. Data selengkapnya dapat dibaca pada halaman lampiran.
 Kemenangan akhirnya berada pada pihak yang memegang teguh dharma. Walau demikian Yudhistira merasa jijik, bagaimana ia bisa merasa bangga duduk bertahta di singgasana hasil pertumpahan darah saudara sendiri. Namun, itu semua sudah menjadi karma-phala, bahwa perbuatan yang baik (Cubhakarma) akan mendatangkan hasil yang baik, sedangkan perbuatan yang buruk (Acubhakarma) akan mendatangkan hasil yang buruk pula. Pada hakekatnya hukum karma-phala memberi kesempatan kepada setiap orang untuk memperbaiki keadaan jiwanya, di dalam dan melalui rangkaian kehidupan yang sedang dan akan dijalaninya. 
 Sehingga dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa dharma merupakan kebajikan tertinggi yang senantiasa dijunjung oleh Pandawa. Dalam setiap tindak tanduk Pandawa, dharma senantiasa menyertainya. Pandawa, dalam menegakkan dharma, pada setiap langkahnya selalu mendapat ujian berat, memuncak pada perang Bharatayudha. Bagi siapa saja yang berlindung pada Dharma, Tuhan akan melindunginya dan memberikan kemenangan serta kebahagiaan. Sebagaimana yang dilakukan oleh Pandawa, berlindung di bawah kaki Krishna sebagai awatara Tuhan. " Satyam ewa jayate " (hanya kebenaran yang menang). 
 Demikianlah, kebajikan akhirnya menang melawan kebatilan.







Daftar Pustaka

Anesaki, Masaharu. 1983. History Of Japanese Religion. Tokyo-Japan : Charles E. Tuttle Company.

http://www.pontianakpost.com

http://www.sonetaorg/BEN Poetica/Karya Charita/15_Dharma_Upadesa_1996.htm

http://www.soneta-org/BEN Poetica/Karya Charita/14_Dharmasiksa_1996.htm

Klostermaier, Klaus K. 1999. Buddhism A Short Introduction. Boston-USA : Oneworld Publications.

Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Pendit, Nyoman S. 2003. Mahabharata. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. 


Jumat, 17 April 2009

Kepadamu Ibu

Kepadamu …. Ibu
Yang selalu …. Selalu menyayangiku

Kepadamu …. Ibu
Yang selalu …. Selalu mencintaiku

Kepadamu …. Ibu
Yang selalu …. Selalu sabar akan bengalku

Kepadamu …. Ibu
Kukirim selaksa doa tulusku

Kepadamu …. Ibu
Kukirim selaksa kasih sayangku

Kepadamu …. Ibu
Aku menyayangimu …. Ibuku 


 Probolinggo, 28 Agustus 2008

Legenda Jaka Tole

Tersebutlah seorang anak Madura bernama Jaka Tole. Karena kesaktiannya, ia berhasil menegakkan pintu gerbang Keraton Majapahit.
 Agaknya nama Jaka Tole mempunyai nilai tersendiri di hati Raja Majapahit. Oleh karena itu, jika ada hal – hal yang sulit diatasi, Jaka Tole disuruh mengatasinya. Jika ada pemberontakan yang bertujuan mengurangi kekuasaan Majapahit, Jaka Tole diperintahkan Raja memimpin pasukan untuk memadamkan pemberontakan itu.
 Jaka Tole ternyata seorang prajurit yang tangkas dan cekatan dalam memimpin pasukan. Setiap pemberontakan terhadap Majapahit selalu berhasil ia padamkan dengan tidak terlalu banyak memakan korban. Tidak aneh kalau Raja sangat sayang kepadanya. Ia sering mendapat hadiah dari Raja.
 Karena Raja sangat sayang kepada Jaka Tole, ada beberapa orang iri hati kepadanya. Mereka yang merasa tidak senang itu menyebarkan fitnah bahwa kesetiaan Jaka Tole kepada Raja hanya setengah – setengah. Jaka Tole berjuang bukan untuk kejayaan Majapahit, tetapi sekadar mendapatkan hadiah dari Paduka Raja.
 Fitnah itu akhirnya sampai ke telinga Raja. Raja sebenarnya ragu akan kebenaran berita itu. Raja pun memutuskan untuk menguji kesetiaan Jaka Tole.
 “Jaka Tole akan kunikahkan dengan putriku yang buta,” kata Raja dalam hati, “kalau ia menolak, pertanda ia tidak taat kepadaku. Berarti berita bahwa ia tidak setia kepadaku itu memang benar. Tetapi, apabila ia mau menikah dengan Dewi Ratnadi, putriku yang buta, berarti berita yang dilaporkan orang kepadaku hanya fitnah belaka.”
 Raja pun memanggil Jaka Tole. Setelah Jaka Tole menghadap, Raja mulai berbicara, “ Jaka Tole, aku mempunyai seorang putrid bernama Dewi Ratnadi. Maukah engkau seandainya ia kujodohkan denganmu?”
 “Saya siap dijodohkan dengan putri Paduka,” jawab Jaka Tole dengan suara tegas.
 “Tetapi, apakah engkau tidak menyesal di kemudian hari?” Tanya Raja
 “Mengapa saya akan menyesal?” Tanya Jaka Tole
 “Ketahuilah,” kata Raja menjelaskan, “putriku ini buta. Apakah engkau tetap bersedia mengawininya?”
 “Saya tetap bersedia,” jawab Jaka Tole dengan suara mantap.
 Raja tersenyum gembira mendengar jawaban Jaka Tole yang meyakinkan itu.
 Beberapa hari kemudian, pesta pernikahan Jaka Tole dan Dewi Ratnadi dirayakan di pusat kerajaan Majapahit. Ada bermacam – macam komentar atas pernikahan itu. Orang – orang yang tidak senang kepada Jaka Tole menganggap pengantin yang sedang bersanding merupakan lelucon yang tidak lucu. Mengapa? Karena mempelai pria gagah seperti Arjuna, sedangkan mempelai wanita buta. Pihak yang senang kepada Jaka Tole merasa tidak puas karena Jaka Tole yang besar jasanya kepada Negara Majapahit dinikahkan dengan putri yang buta. Menurut mereka, Jaka Tole sepantasnya dijodohkan dengan putri raja yang paling cantik.
  Setelah upacara dan pesta pernikahan itu selesai, Jaka Tole dan istrinya minta izin kepada Raja untuk pulang ke Sumenep. Raja mengizinkan meraka.
 Para pegawai keraton pun menyiapkan tandu untuk mengantar Dewi Ratnadi ke Sumenep, tetapi Jaka Tole menolak untuk diantar. “Selagi badan saya masih kuat untuk menggendong Dewi Ratnadi, izinkanlah kami pulang berdua saja.”
 Sambil menggendong istrinya, Jaka Tole berangkat ke arah timur meninggalkan pusat pemerintahan yang indah permai. Meskipun Dewi Ratnadi buta, Jaka Tole tetap menunjukkan rasa sayang kepada istrinya itu. Dalam perjalanan, ia selalu mencarikan buah – buahan yang disukai Dewi Ratnadi. Putri tidak menyangka Jaka Tole akan mencintainya sedemikian rupa.
 Setelah sampai di pelabuhan Gresik, Jaka Tole dan istrinya beristirahat beberapa hari di Bandar yang ramai disinggahi perahu – perahu dari berbagai negeri. Kemudian, mereka menyeberang laut menuju ujung Barat Pulau Madura. Setelah naik ke darat, Dewi Ratnadi ingin mandi. Jaka Toloe bingung karena di sekitar tempat itu tidak ada sumur atau sungai. Lalu, ia mengambil tongkat Dewi Ratnadi dan menancapkannya ke tanah. Setelah tongkat itu dicabut, keluarlah air yang memancar dari dalam tanah langsung menyemprot wajah Dewi Ratnadi.
 “Kanda Jaka Tole,” teriak Dewi Ratnadi dengan gembira, “aneh sekali, mata saya sekarang bisa melihat.”
 “Benarkah itu, Dewi?” tanya Jaka Tole setengah tidak percaya.
 “Betul,” jawab Dewi Ratnadi, “untuk apa saya berdusta. Coba lihatlah kedua mata saya. Saya sekarang sudah bisa memandang wajah Kanda.”
 Jaka Tole pun memperhatikan mata istrinya. Tampak mata Dewi Ratnadi sudah terbuka dengan biji mata seindah bintang kejora. Hati Jaka Tole sangat gembira.
 Setelah puas mandi, Dewi Ratnadi pun berganti pakaian. Kini, ia bisa memilih sendiri pakaiannya karena kedua belah matanya dapat melihat dengan sempurna.
 Air yang keluar dari dalam tanah itu akhirnya menjadi sumber air yang sangat jernih. Tempat itu sampai sekarang disebut Soca, artinya mata. Mungkin karena di tempat itu mata Dewi Ratnadi yang buta dapat melihat.
 Dalam perjalanan selanjutnya, Dewi Ratnadi tidak perlu digendong. Selain sudah bisa melihat, badannya terasa sehat sekali. Mereka terus berjalan ke arah timur.
 Berhati – hari lamanya mereka berjalan melewati dataran rendah yang luas dan naik turun perbukitan. Mereka tidak susah mencari makanan karena daerah yang mereka lalui itu banyak terdapat buah.
 Ketika tiba di sebuah tempat, Dewi Ratnadi ingin mandi. Jaka Tole pun menancapkan tongkatnya ke tanah. Keluarlah air yang sangat deras.
 Setelah selesai mandi, Dewi Ratnadi terkejut karena pakaian dalamnya dihanyutkan air yang sangat deras alirannya. Ia segera memberi tahu suaminya. Tanpa pikir panjang, Jaka Tole pun memanggil air yang menghanyutkan pakaian dalam istrinya. Air yang jauh mengalir itu pun membelok dan mendekat ke arah Jaka Tole. Setelah pakaian itu tiba di dekatnya, Jaka Tole cepat memungut dan mengembalikannya kepada Dewi Ratnadi.
 Sumber besar yang terletak di sebelah timur laut kota Sampang itu sampai sekarang disebut Omben. Kata omben berasal dari bahasa Madura, amben, yang berarti pakaian dalam wanita.
 Perjalanan Jaka Tole dan Dewi Ratnadi pun diteruskan menuju ke timur. Setelah sampai di Sumenep, Jaka Tole disambut gembira oleh ayah bundanya serta masyarakat Sumenep. Apalagi Jaka Tole membawa pulang istri yang cantik rupawan.
 Kakak Jaka Tole dari puhak ibu bernama Pangeran Saccadiningrat adalah seorang Raja yang memerintah negeri Sumenep. Pemerintahannya di bawah kekuasaan Majapahit. Setelah Saccadiningrat memasuki usia tua, Jaka Tole pun dinobatkan sebagai adipati yang memerintah wilayah Sumenep. Di bawak kepemimpinan Jaka Tole, masyarakat Sumenep benar – benar merasakan kemakmuran dan keadilan.

Kesimpulan
Cerita ini termasuk legenda karena mengisahkan asal usul nama sebuah tempat. Legenda ini memberi pelajaran agar orang yang ingin hidup mulia harus tahan menderita. Manusia yang bermental baja dan tahan menderita dalam mencapai cita – cita dengan tetap menghargai hak dan kepentingan orang lain, niscaya akan cepat mencapai cita – cita itu.

Dialog Malam Hari

Jika wanita sarat dengan ketidakjujuran
 Maka lelaki pun penuh dengan kebohongan
 Entah kebohongan itu disengaja ataupun tidak

Jika wanita menyukai hal yang kompleks
 Maka lelaki menyukai hal yang instan
 Hubungan instan, pemikiran instan, dan juga mie instan

Jika wanita diciptakan dengan keterbatasan
 Maka lelaki diciptakan dapat mematahkan keterbatasan itu
 Lelaki dapat bertelanjang dada tanpa terjerat norma susila

Maka dari itu sudah merupakan kodrat bahwa wanita adalah “second community” dan jangan coba – coba melangkahi atau mematahkan kodrat itu.

Inikah yang benar?

Bagaimana dengan emansipasi wanita yang diperjuangkan R.A. Kartini?
 Rasanya wanita telah salah kaprah dalam mengartikannya….
 Tidak dalam semua hal, emansipasi itu dapat diterapkan

Bukan begitu?

Atau sebaliknya?

Emansipasi tanpa batas…..

Ah…buat apa dipikirkan….
Itu urusan mereka…para wanita dan lelaki

Kita hanya penonton bukan?!
Hei….lintang!
Oh…kau sudah tidur rupanya….

Pak Tua dan Gitar Tua

Pak Tua…
Di usiamu yang senja
Kau hidup terlunta-lunta
Mengadu nasib di kerasnya dunia

Pak Tua…
Ketika itu
Aku melihatmu
Termenung di pinggir trotoar

Pak Tua…
Dimanakah sanak saudaramu?
Dimanakah anak-anakmu?
Dimanakah keluargamu?

Pak Tua…
Kau sandang gitarmu
Kau nyanyikan lagu bahagia
Meski dirimu menderita

Pak Tua…
Terik matahari tak halangi langkahmu
Kau tetap maju menantang dunia
Demi sesuap nasi

Pak Tua…
Di usiamu yang senja
Harusnya anak cucumu yang temanimu
Tapi gitar tuamulah teman setiamu

Pak Tua…
Aku melihatmu
Tertidur di trotoar
Penuh kedamaian, walau di tengah keramaian 
@vicenna_Pembaringan_Senja_2007

MATAHARI TAK PERNAH JADI REMBULAN

Terkadang panasnya membakar seluruh raga. Namun cahaya redupnya di sore hari menenangkan jiwa. Matahari memiliki 9 planet yang selalu setia mengelilinginya. Panasnya cahaya yang terpancar tak membuat planet-planet itu meninggalkannya. Tak membuat planet-planet itu tak setia menunggu kehadirannya. Walau panasnya selalu membakar permukaannya, tapi planet-planet itu selalu menyambutnya dengan senyum di pagi hari dan mengantarnya dengan tarian di senja hari. Planet-planet itu tak pernah lelah menanti kehadiran sang matahari, karena cahayanya mampu membuat segala yang mati menjadi hidup, segala yang gelap menjadi terang, dan mampu membuat semangat yang padam menjadi membara. 

Tapi bila matahari sudah tak mau dan enggan membagi sinarnya pada salah satu planetnya, apa yang dapat dilakukannya. Sebuah planet hanya nampak bagai noktah kecil yang tak berarti di hadapan keagungan sang matahari. Bila matahari sudah tak berpihak pada planet itu, kehidupan di dalamnya akan mati, mati tak berdaya dalam kegelapan yang abadi. 

Aku adalah planet itu. Aku adalah bumi. Bumi tempat segala kehidupan ada. Tempat segala keindahan duniawi terkumpul. Tempat bermain, tertawa menangis, dan mati. Tempat pencarian arti kehidupan yang sejati. Bumi memang tak dapat hidup tanpa matahari yang senantiasa membagi sedikit cahayanya. Walau matahari hanya mengunjunginya di siang hari. Memberi kehangatan di pagi hari. Membakar di siang hari. Dan menenangkan di sore hari. Namun bumi selalu menanti kehadirannya. Bumi tak bisa memiliki matahari untuk dirinya sendiri. Matahari punya delapan planet lain yang memerlukan cahanya. Bumi tidak boleh egois dan serakah. Bumi harus rela membagi cahaya itu dengan delapan planet lainnya. 

Bumi memang begitu memerlukan matahari. Bahkan membutuhkannya. Namun, matahari seakan sudah bosan menyinari bumi. Sudah bosan menghangatkan, membakar, dan menenangkan bumi. Sekarang sedang terjadi gerhana matahari total. Sudah lama bumi tak merasakan cahaya matahari. Apakah bumi telah melakukan kesalahan ???

Sekarang yang menemani bumi adalah sang rembulan. Rembulan senantiasa setia mengiringi bumi kemanapun bumi itu berputar. Walau rembulan tak bercahaya seterang matahari, tapi rembulan adalah milik bumi sepenuhnya. Walau rembulan tak seagung matahari, setidaknya rembulan begitu bersahabat dan selalu ada untuk bumi. Walau terkadang rembulan tertutup benderangnya cahaya matahari, namun bulan selalu ada di tempatnya dan tak pernah meninggalkan bumi sedetikpun.

Matahari tak kan pernah jadi rembulan untuk bumi. Walau bumi begitu mengharapkan matahari menjadi satu-satunya untuknya, itu tidak mungkin terjadi. Hanya rembulanlah yang senantiasa menjadi milik bumi satu-satunya. Bumi seharusnya sadar, bahwa selama-lamanya MATAHARI TAK PERNAH JADI REMBULAN.


  ”the earth”